Pertambangan Ilegal di Kampar Diminta Aliansi Mahasiswa Kampar-Pekanbaru Untuk Ditindak Tegas

PEKANBARU - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kampar–Pekanbaru (AMK-P) turun ke jalan dengan satu seruan lantang: hentikan pembiaran tambang galian C ilegal di Kabupaten Kampar. Mereka berorasi di depan Mapolda Riau, menggugat diamnya aparat di tengah maraknya kerusakan lingkungan yang terjadi di Tambang, Kampa, hingga Rumbio Jaya. Aksi ini lahir dari kegelisahan rakyat, dari rasa marah melihat betapa lemahnya hukum di hadapan para penambang yang dengan leluasa merusak sungai dan tanah Kampar, (15/9/25).
Padahal, Kepolisian belakangan gencar mempromosikan jargon Green Policing. Namun di lapangan, kesan yang muncul justru sebaliknya, Kapolres dan Kapolsek seolah menutup mata dan telinga. Membiarkan alat berat, keong penyedot pasir, hingga puluhan dump truck keluar masuk wilayah tambang tanpa hambatan. “Apa gunanya ada Kapolres dan Kapolsek jika tambang ilegal bisa beroperasi bebas di depan mata? Apakah aparat setempat benar-benar tidak tahu?” tanya Risky Ahmad Fauzi, salah satu koordinator aksi, menyindir keras peran aparat di Kampar.
Fakta di lapangan memperlihatkan betapa masifnya persoalan ini. Di sepanjang tepian Sungai Kampar, mulai dari Desa Kualu hingga Danau Bingkuang, berjejer lebih dari dua puluh lokasi tambang pasir dan kerikil. Dari puluhan itu, hampir semuanya tidak memiliki izin resmi. Padahal, catatan Dinas ESDM Riau menyebut hanya ada sekitar 12 tambang galian C yang berizin di seluruh provinsi. Artinya, sebagian besar aktivitas tambang di Kampar adalah ilegal, tanpa izin usaha pertambangan, tanpa kontribusi pajak, dan tanpa pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkannya.
Kerusakan itu nyata terlihat. Sungai Kampar yang dulu jernih kini keruh, mengganggu kebutuhan dasar warga untuk mandi dan mencuci. Di Desa Teluk Kenidai, Kecamatan Tambang, lahan seluas empat hektare rusak parah akibat aktivitas tambang pasir ilegal. Jalan poros desa pun hancur oleh lalu lalang truk pengangkut material, debu berterbangan, jalan bergelombang, dan keselamatan warga terancam. Bagi masyarakat, ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal kesehatan dan hak hidup yang semakin terenggut.
Bagi mahasiswa, semua ini adalah bentuk pengabaian sistematis. Jargon Green Policing hanyalah slogan kosong jika polisi di lapangan tidak berani menindak para penambang. Tidak mungkin alat berat beroperasi di tepi sungai tanpa sepengetahuan aparat. Tidak masuk akal jika puluhan lokasi tambang tumbuh seperti jamur tanpa pernah tersentuh penindakan serius. AMK-P mempertanyakan, apakah ada yang sengaja melindungi bisnis ilegal ini? Apakah ada aliran setoran yang membuat aparat memilih bungkam?
Di tengah situasi ini, mahasiswa mendesak Polda Riau untuk turun tangan langsung. Mereka menuntut agar ada operasi terpadu, melibatkan kepolisian, dinas ESDM, dinas lingkungan hidup, hingga kejaksaan, demi memastikan pelaku tambang ilegal ditindak sesuai hukum. Bagi AMK-P, ini bukan sekadar masalah perizinan, melainkan soal keadilan lingkungan dan masa depan Kampar.
“Jika negara terus diam, jangan salahkan mahasiswa dan masyarakat bila amarahnya meledak,” tegas Risky, menutup orasinya. Suara lantang mahasiswa ini menjadi peringatan, rakyat sudah muak dengan pembiaran, dan hukum tak boleh terus tunduk di hadapan kepentingan tambang ilegal.***
Komentar Via Facebook :